Minggu, 02 Desember 2012

psikologi komunikator



PSIKOLOGI KOMUNIKATOR
Pada bab dahulu, kita telah mendiskusikan tentang Psikologi Komunikate (yang secara umum dicakup pada karakteristik manusia komunikan), psikologi penerimaan dan pengolahan pesan (dalam system komunikasi intrapersonal), dan psikologi media komunikasi (baik dalam konteks interpersonal maupun konteks komunikasi massa). Lawsell menyebutkan komunikasi who says what in what channel tho whom with what effect. Yang belum di uraikan ialah who says what. Whos says kita ulas pada psikologi komunikator, dan What kita uraikan pada psikologi pesan.
1.Psikologi Komunikator
Lebih dari 2000 tahun  yang lalu, Aristoteles menulis :
Persuasi tercapai karena karakteristik personal pembicaranya, yang ketika ia menyampaikan pembicaraannya kita menganggapnya dapat dipercaya. Kita lebih penuh dan lebih cepat percaya pada orang-orang baik daripada orang lain : Ini berlaku umummnya pada masalah apa saja          dan secara mutlak berlaku ketika tidak mungkin ada kepastian dan pendapat terbagi. Tidak benar, anggapan sementara penulisa retorika bahwa kebaikan personal yang di ungkapkan pembicara tidak berpengaruh apa-apa pada kekuatan persuasinya; sebaliknya, karakternya  hampir bisa disebut sebagai alat persuasi yang paling efektif yang dimilikinya”. (Aristoteles, 195:45)
Aristoteles menyebut karakter komunikator ini sebagai ethous. Ethous terdiri dari pikiran baik, akhlak yang baik, dan maksud yang baik (good sense, good moral, character, good will).Pendapat Aristoteles ini diuji secara ilmiah 2300 tahun kemudian oleh Carl Hovland dan Walter Weiss (1951). Mereka melakukan eksperimen pertama tentang psikologi komunikator. Kepada sejumlah besar subjek disampaikan pesan tentang kemungkinan membangun kapal selam yang digerakkan oleh tenaga atom (waktu itu, menggunakan energi atom masih merupakan impian).
Hovland dan Weiss menyebut ethous ini credibility yang terdiri dari dua unsur : Expertise (keahlian) dan trustworthiness (dapat dipercaya).Kedua komponen ini telah disebut dengan istilah-istilah lain oleh ahli komunikasi yang berbeda. Untuk expertness, McCroskey (1968) menyebutnya authoritativeness : Markham (1968) menamainya factor reliablelogical: berlo, Lemert dan Mertz (1966) menggunakan Qualification. Untuk trusworthiness, peneliti lain
menggunakan istilah safety, character, atau evaluative factor. Kita tidak akan mempersoalkan mana istilah yang benar. Semua kita sebut saja kredibilitas, tetapi kita tidak hanya melihat pada kredibilitas sebagai factor yangb mempengaruhi efektifitas sumber.
Kita juga akan melihat dua unsure lainnya : atraksi komunikator (source attractiviness) dan kekuasaan (source power). Seluruhnya-kredibilitas, atraksi dan kekuasaan-kita sebut sebagai ethous (sebagai penghormatan pada aristoteles, psikologi komunikasi yang pertama). Seluruhnya -kredibilitas, atraksi dan kekuasaan-, kita sebut sebagai ethous (sebagai penghormatan kepada Aristoteles, psikolog komunikasi yang pertama). Dimensi-dimensi ethous akan kita bicarakan pada bagian berikutnya.
Dimensi-Dimensi Ethos
Ethos diartikan sebagai sumber kepercayaan (source credibility) yang ditunjukkan oleh seorang orator (komunikator) bahwa ia memang pakar dalam bidangnya, sehingga oleh karena seorang ahli, maka ia dapat dipercaya.
Diatas telah kita uraikan bahwa ethos atau faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas komunikator terdiri dari kredibilitas, atraksi, dan kekuasaan. Ketiga dimensi ini berhubungan dengan jenis pengaruh sosial yang ditimbulkannya. Menurut Herbert C. Kelman (1957) pengaruh komunikasi kita pada orang lain berupa tiga hal : internalisasi (internalization), identifikasi (identification), dan ketundukan (compliance).
Dimensi ethos yang paling relevan di sini ialah kredibilitas, keahlian komunikator atau kepercayaan kita pada komunikator. Identifikasi terjadi bila individu mengambil perilaku yang berasal dari orang atau kelompok lain karena perilaku itu berkaitan dengan hubungan yang mendefinisikan diri secara memuaskan (satisfying self-defining relationship) dengan orang atau kelompok itu, hubungan yang mendefinisikan diri artinya konsep diri. Dalam identifikasi, individu mendefinisikan peranannya sesuai dengan peran orang lain. “He attempts to be like or actually to be the other person,” ujar Kelman. Ia berusaha seperti atau benar-benar menjadi orang lain. Dengan mengatakan pa yang iakatakan, melakukan apa yang ia lakukan, mempercayai apa yang ia percayai.individu mendefinisikan sesuai dengan yang mempengaruhinya. Dimensi ethos yang paling relevan dengan identifikasi adalah atraksi (attractiviness)–daya tarik komunikator.
Ketundukan (compliance) terjadi bila individu menerima pengaruh dari orang atau kelompok lain karena ia berharap memperoleh reaksi yang menyenangkan dari orang atau kelompok tersebut. Ia ingin mendapatkan ganjaran atau menghindari hukuman dari pihak yang mempengaruhinya. Dalam ketundukan, orang menerima perilaku yang di anjurkan bukan karena mempercayainya, tetapi Karena perilaku tersebut membantunya untuk menghasilkan efek social yang memuaskan. Kredibilitas, Atraksi, dan kekuasaan kan kita perinci pada bagian berikutnya.
Kredibilitas
Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikate tentang sifat-sifat komunikator. Dalam definisi ini terkandung dua hal :
1. Kredibilitas adalah persepsi komunikate, jadi tidak inheren dalam diri komunikator.
2. Kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator, yang selanjutnya akan kita sebut sebagai komponen-komponen kredibilitas.
Karena kredibilitas itu masalah persepsi, kredibilitas berubah bergantung pada pelaku persepsi (komunikate), topic yang dibahas dan situasi. Sekali lagi, kredibilitas tidak ada pada diri komunikator, tetapi terletak pada persepsi komunikate. Oleh karena itu, ia dapat berubah atau di ubah, dapat terjadi atau dijadikan. Misalnya, seorang dosen begitu didengar oleh mahasiswanya, tetapi belum tentu di depan rektornya. Ini mengandung arti bahwa persepsi mahasiswa dan persepsi rektor sangat berbeda, tergantung siapa yang memberikan persepsi tersebut.
Hal-hal yang mempengaruhi persepsi komunikate tentang komunikator sebelum ia berlakukan komunikasinya disebut prior ethos (Andersen,1972:82). Sumber komunikasi memperoleh prior ethos karena berbagai hal, kita membentuk gambaran tentang diri komunikator dari pengalaman langsung dengan komunikator itu atau dari pengalaman wakilan (vicarious experiences), misalnya, karena sudah lama bergaul dengan dia dan sudah mengenal integritas kepribadiannya atau karena kita sudah sering melihat atau mendengarnya dalam media masa (ingat lagi, efek media massa dalam memberikan status). Boleh jadi kita membentuk prior ethos komunikator dengan menghubungkannya pada kelompok rujukan orang itu. Piror Ethos bisa terbentuk karena sponsor atau pihak-pihak yang mendukung komunikator. Atau juga timbul karena petnjuk-petunjuk nonverbal yang ada pada diri komunikator.
Pada satu kelompok dikatakan bahwa pembicara adalah hakim yang banyak menulis masalah kenakalan remaja (kredibilitas tinggi), dan pada kelompoklain dilukiskan pembicara sebagai pengedar narkotik (kredibilitas rendah). Keduannya berbicara tentang perlunya perlakuan yang lebih ringan terhadap remaja-remaja nakal.
Dengan membicarakan prior ethos kita mengisyaratkan factor waktu dalam kredibilitas. Mungkin anda diperkenalkan sebagai orang pandai pada permulaan komunikasi. Anda memiliki kredibilitas (Prior ethos).  Sedangkan intrinsic ethos di b entuk oleh topic yang dipilih, cara penyampaian, teknik-teknik pengembangan pokok bahasan, bahasa yang digun akan, dan organisasi pesan atau sistematika yang dipakai.
Kita sudah membicarakan kredibiltas sebagai persepsi. Lalu, apa saja yang merupakan komponen-komponen kredibilitas ? Dua komponen kredibilitas yang paling penting adalah keahlian dan kepercayaan. Keahlian adalah kesan yang dibentuk komunikate tentang kemampuan komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan. Komunikator yang dianggap rendah pada keahlian dianggap sebagai tidak berpengalaman, tidak tahu, atau bodoh. Kepercayaan adalah kesan komunikate tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya. Apakah komunikator di anggap jujur, tulus, bermoral, adil atau sopan ? Aristoteles menyebutnya Good moral Character. Quintillianus menulis, A good man speek well; orang baik berbicara baik.
Koehler, Annatol, dan Applbaum (1978: 144-147) menambahkan empat komponen lagi :
1. Dinamisme
Komunikator memiliki dinamisme, bila ia dipandang sebagai bergairah, bersemangat, aktif, tegas dan berani. Sebaliknya, komunikator yang tidak dinamis dianggap pasif, ragu-ragu, lesu dan lemah. Dinamisme umumnya berkenaan dengan cara berkomunikasi. Dalam komunikasi, dinamisme memperkokoh kesan keahlian dan kepercayaan


2. Sosialibiliti
Sosialbilitas adalah kesan komunikate tentang komunikator sebagai orang yang periang dan senang bergaul.
3. Koorientasi
Koorientasi merupakan kesan komunikate tentang komunikator sebagai orang yang mewakili kelompok yang kita senangi, yang mewakili nilai-nilai kita.
4. Karisma
Karisma digunakan untuk menunjukan suatu sifat luar biasa yang  dimiliki komunikator yang menarik dan mengendalikan komunikate seperti magnet yang menarik benda-benda disekitarnya.
Atraksi
Atraksi (attractiveness) adalah daya tarik komunikator yang besumber dari fisik. Seorang komunikator akan mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan sikap melalui mekanisme daya tarik (fisik), misalnya, komunikator disenangi atau dikagumi yang memungkinkan komunikate menerima kepuasan. Shelli Chaiken (1979), psikolog yang cantik nan manis dari University of Massachusest, menelaah pengaruh kecantikan komunikator terhadap persuasi dengan studi lapangan. Ia mengkritik penelitian laboratorium yang meragukan pengaruh atraksi fisik, karena menghasilkan kesimpulan yang beraneka ragam. Penelitian Laboratoris terlalu melebih-lebihkan daya tarik fisik, dan menjadikan mahasiswa yang menjadi objek penelitian terpengaruh oleh penelitian untuk menjawab sesuai dengan kehendak peneliti.
Atraksi fisik menyebabkan komunikator menarik, dan karena menarik ia memiliki daya persuasive. Tetapi kita juga tertarik pada seseorang karena adanya beberapa kesamaan antara dia dengan kita. Kalau begitu apakah komunikate akan lebih mudah menerima pesan komunikator bila ia memandang banyak kesamaan di antara keduanya ?
Benar, kata Everett M.Rogers, setelah meninjau banyak penelitian komunikasi, ia membedakan antara kondisi homophily dan heterophily. Pada kondisi pertama, komunikator dan komunikate merasakan ada kesamaan dalam status sosial ekonomi, pendidikan, sikap dan kepercayaan. Pada kondisi kedua, terdapat perbedaan status sosial ekonomi, pendidikan dan kepercayaan antara komunikate dan komunikator. Komunikasi akan lebih efektif pada kondisi homophily daripada kondisi heterophily. Rogert membuktikan pengaruh factor kesamaan ini dari penelitian sosisologis. Serangkaian studi psikologis yang dilakukan Stotland dkk, memperkuat teori Rogert. Karena itulah komunikator yang ingin mempengaruhi orang lain sebaiknya memulai dengan menegaskan kesamaan antara dirinya dengan komunikate. Kita dapat mempersamakan diri kita dengan komunikate dengan menegaskan persamaan dalam kepercayaan, sikap, maksud, dan nilai-nilai sehubungan dengan suatu persoalan.
Simons menerangkan mengapa komunikator yang dipersepsi memiliki kesamaan dengan komunikate cenderung bekomunikasi lebih efektif :
·         Pertama, kesamaan mempermudah proses penyandibalikan (decoding), yakni proses menerjemahkan lambang-lambang yang diterima menjadi gagasan-gagasan.
·         Kedua, kesamaan membantu membangun premis (putusan yang sudah diketahui) yang sama. Premis yang sama membantu mempermusah proses deduktif. Ini berarti bila bila kesamaan disposisisonal relevan dengan topik-topik persuasi, orang akan terpengaruh oleh komunikator.
·         Ketiga, kesamaan menyebabkan komunikate tertarik pada komunikator. Orang-orang cenderung menyukai orang yang mempunyai kesamaan disposisional dengan kita. Karena tertarik pada komunikator, kita akan  cenderung menerima gagasan-gsagasannya.
·         Keempat, kesamaan menumbuhkan rasa hormat dan percaya pada komunikator. Namun alasan ini belum bisa dibuktikan secara meyakinkan dalam berbagai penelitian.
Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan. Seperti kredibilitas dan atraksi, ketundukan timbul dari interaksi antara komunikator dan komunikate. Kekuasaan menyebabkan seorang komunikator dapat “memaksakan” kehendaknya kepada orang lain, karena ia memiliki sumber daya yang sangat penting (critical resources). Berdasarkan sumber daya yang dimilkinya, French dan Raven menyebutkan jenis-jenis kekuasaan. Klasifikasi ini kemudian dimodifikasikan Raven (1974) dan menghasilkan lima jenis kekuasaan :
1. Kekuasaan Koersif (coersive power). Kekuasaan koersif menunjukkan kemampuan komunikator untuk mendatangkan ganjaran atau memberikan hukuman pada komunikate. Ganjaran dan hukuman itu dapat bersifat personal (misalnya benci dan kasih sayang) atau impersonal (kenaikan pangkat atau pemecatan).
2. Kekuasaan Keahlian (expert power). Kekuasaan ini berasal dari pengetahuan, pengalaman, keterampilan, atau kemampuan yang dimiliki komunikator.
3. Kekuasaan Informasional (informasional power). Kekuasaan ini berasal dari isi komunikasi tertentu atau pengetahuan baru yang dimiliki oleh komunikator.
4. Kekuasaan Rujukan (referent power). Disini komunikate menjadikan komunikator sebagai kerangka rujukan untuk menilai dirinya. Komunikator dikatakan memiliki kekuasaan rujukan bila ia berhasil menanamkan kekaguman pada komunikate, sehingga seluruh perilakunya diteladani.
5. Kekuasaan Legal (legitimate power).  Kekuasaan ini berasal dari seperangkat peraturan norma yang menyebabkan komunikator berwenang untuk melakukan suatu tindakan.
b PATHOS
Pathos diartikan sebagai “imbauan emosional (emitional appeals)” yang ditunjukkan oleh seorang rhetor dengan menampilkan gaya dan bahasanya yang membangkitkan kegairahan dengan semangat yang berkobar-kobar pada khalayak (Effendy, 1993:352).
Sejatinya, pathos ini perlu dimiliki oleh seorang ahli pidato (rethor) yang tercemin dari gaya serta bahasanya yang mampu membangkitkan khalayak untuk tujuan-tujuan tertentu. Indonesia memiliki Ir. Soekarno yang memiliki pesona dalam berbicara di depan umum (publik). Semangat pergerakan untuk mengusir penjajah pada waktu itu, bukan semata-mata ditentukan oleh ujung senjata, melainkan pula terletak diujung lidah. Retorika yang baik akan sanggup “membius” khalayak untuk bersatu mengusir penjajah.

c LOGOS
Logos diartikan sebagai “imbauan logis (logical appeals) yang ditunjukkan oleh seorang orator bahwa uraiannya masuk akal sehingga patut diikuti dan dilaksanakan oleh khalayak (Effendy, 1993:352).
Sama halnya dengan pathos, logos pun perlu dimiliki oleh seorang orator/rethor. Kahaayak akan mau dan “bersuka rela” mengikuti ajakan/anjuran komunikator apabila pesannya disampaikan dengan uraiannya yang masuk akal,  dan dengan argumentasi yang kuat. Tidak semua orang memiliki logos dalam setiap perkataan yang disampaikanya. Mungkin ada orang yang cenderung meiliki pathos daripada logos atau sebaliknya. Ada satu mitos yang mungkin anda bisa percaya atau tidak: “selain kematian, hal lain yang menakutkan adalah berbicara di depan umum”. Namun bagi seorang komunikator “ulung” yang melengkapi dirinya dengan ethos, pathos dan logos, hal itu tidak berlaku.
2. Psikologi Pesan
Seorang Psikolinguistik dari Rockefeller University, George A. Miller pernah menulis :
Kini ada seperangkat perilaku yang dapat megedalikan pikiran dan tindakan orang lai secara perkasa. Teknik pengendalian ini dapat menyebabkan Anda melakukan sesuatu yang tidak terbayangkan. Anda tidak dapat melakukannya tanpa adana teknik itu. Teknik itu dapat mengubah pendapat dan keyakinan, dapa digunakan untuk menipu anda dapat membuat anda gembira dan sedih, dapat memasukkan gagasan-gagasan baru ke dalam kepala Anda, dapat membuat anda menginginkan sesuatu yang tidak Anda miliki. Anda pun bahkan dapat menggunakannya untuk mengendalikan diri Anda sendiri. Teknik ini adalah alat yang luar biasa perkasanya dan dapat digunakan untuk apa saja.” (miller, 1974: 4)
Teknik ini tidak ditemukan oleh psikolog, tidak berasal dari pemberian mahluk halus, tidak juga diperoleh secara para psikologis atau lewat ilmu klenik. Teknik ini telah dimiliki bahasa. Dengan bahasa, yang merupakan kumpulan kata-kata, anda dapat mengatur perilaku orang lain.
Manusia mengucapkan kata-kata dan kalimat dengan cara-cara tertentu. Setiap cara berkata memberikan maksud tersendiri. Cara-cara ini kita sebut paralinguistic. Akan tetapi, manusia juga menyampaikan pesan dengan cara-cara lai selain dengan bahasa, misalnya dengan isyarat; ini disebut pesan ekstralinguistik. Pesan paralinguistik dan ekstralinguistik akan kita uraikan dalam satu bagian yang kita sebut Pesan nonverbal. Selanjutnya kita akan membicarakan struktur dan imbauan pesan.
a   Pesan Linguistik
Ada dua cara mendefinisikan bahasa : fungsional dan formal. Definisi fungsional melihat bahasa dari segi fungsinya, sehingga bahasa diartikan sebagai “alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan” (socially shared means for expressing ideas). Definisi formal menyatakan bahasa sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa (all the conceivable sentences that could be generated according to the rules of its grammar).
Tata bahasa meliputi tiga unsur : fonologi, sintaksis, dan semantic. Menurut George A.Miller (1974:8), untuk mampu menggunakan bahasa tertentu, kita harus menguasai ketiga tahap pengetahuan bahasa di atas, di tambah dua tahap lagi.
· Pada tahap pertama, kita harus memiliki informasi fonologis tentang bunyi-bunyi  dalam bahasa itu.
· Tahap Kedua, Kita harus memiliki pengetahuan sintatsis tentang cara pembentukan kalimat.
· Tahap ketiga, kita harus mengetahui secara leksikal arti kata atau gabungan kata-kata.
· Pada tahap keempat, tinggal kita dan dunia yang kita bicarakan.
· Tahap kelima kita harus mempunyai semacam system kepercayaan untuk menilai apa yang kita dengar.
Bagaimana kita dapat berbahasa ?
Penemuan Victor menunjukan bahwa bila dipisahkan dari lingkungan manusia, seorang anak tidak memiliki kemampuan bicara. Sebaliknya, kita melihat anak yang dibesarkan didalam masyarakat manusia, pada usia 4 tahun sudah bisa berdialog denga kawan-kawannya dalam bahasa ibunya. Dalam berbahasa, Psikologi membagi kedalam 2 teori yaitu : teori belajar dari behaviorisme dan teori naratisme dari Noam Chomsky.
Menurut teori belajar, anak-anak memperoleh pengetahuan bahasa melalui tiga proses : asosiasi, imitasi, dan peneguhan. Asosiasi berarti melazimkan suatu bunyi dengan obyek tertentu. Imitasi berarti menirukan pengucapan dan struktur kalimat yang didengarnya. Peneguhan dilaksudkan sebagai ungkapan kegembiraan yang dinyatakan ketika anak mengucapkan kata-kata yang benar. Psikolog dari Harvad, B.F.Skinner menerapkan ketiga prinsip ini ketika ia menjelaskan tiga macam respons yang terjadi pada anak-anak kecil, yang disebutnya sebagai respons mand, tact, dan echoice.      Respons mand dimulai ketika anak-anak mengeluarkan bunyi sembarangan. Respons tact terjadi bila anak menyentuh objek, kemudian secara sembarangan ia mengeluarkan bunyi. Respons echoic terjadi ketika anak menirukan ucapan orang tuanya dalam hubungan dengan stimuli tertentu.
Menurut ahli bahasa dari Massachuset Institute Technology ini, teori belajar hanyalah “play acting at sicience”, suatu penjelasan yang sama sekali tidak tepat tetapi dibungkus dengan istilah-istilah yang bernada ilmiah.
Menurut Chomsky, setiap anak mampu menggunakan suatu bahasa karena adanya pengetahuan bawaan (preexistent knowledge) yang telah deprogram secara genetic dalam otak kita. Teori perkembangan mental dari Jean Piaget memperkuat teori Chomsky dengan menunjukkan adanya struktur universal yang menimbulkan pola berpikir yang sama pada tahap-tahap tertentu pada perkembangan mental anak-anak.
Bahasa dan Proses Berpikir
Secara singkat teori ini dapat disimpulkan bahwa pandangan kita tentang dunia dibentuk oleh bahasa ; dan karena bahasa berbeda, pandangan kita tentang dunia pun berbeda pula. Secara selektif, kita menyaring data sensori yang masuk seperti yang telah deprogram oleh bahasa yang kita pakai. Dengan begitu masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda hidup dalam dunia sensori yang berbeda pula.
Dalam hubungannya dengan berpikir, konsep-konsep dalam suatu bahasa cenderung menghambat atau mempercepat proses pemikiran tertentu. Ada bahasa yang dengan mudah dapat dipergunakan untuk memikirkan masalah-masalah filsafat, tetapi ada juga bahasa yang sukar dipakai bahkan untuk memecahkan masalah-masalah matematika yang sederhana.
Bahasa memungkinkan kita menyandi (code) peristiwa-peristiwa dan objek-objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa kita mengabstraksikan pengalaman kita, dan yang lebih penting mengkomunikasikan kepada orang lain. “pemikiran yang tinggi bergantung pada manipulasi lambing,” kata Morton Hunt (1982:227),” dan walaupun lambang-lambang nonlonguistik seperti matematika dan seni sudah canggih, lambang-lambang itu sempit. Sebaliknya, bahasa merupakan pemikiran. Bahasa adalah prasyarat kebudayaan, yang tidak dapat tegak tanpa itu dengan sistem lambang yang lain. Dengan bahasa, kita, manusia, mengkomunikasikan kebanyakan pemikiran kita kepada orang lain dan menerima satu sama lain hidangan pikiran (food for thought).
Kata-kata dan Makna
Konsep makna telah menarik menarik perhatian komunikasi, psikologi, sosiologis, antropologis, dan linguistic. Banyak antara makna penjelasan tentang makna terlalu kabur dan spekulatif kata Jerold katz (1973:42). Brodbeck (1963) memenjernihkan pembicaraan dengan membagi makna pada tiga corak.
·         Makna yang pertama adalah makna inferensial, yakni makna satu kata (lambang) adalah objek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut. Dalam uraian Ogden dan Richards (1946), proses pemberian makna (reference process) terjadi ketika kita menghubungkan lambang dengan yang ditunjukkan lambang (disebut rujukan atau referent). Satu lambang dapat menunjukkan banyak rujukan.
·         Makna yang kedua menunjukkan arti (significance) suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep lain. Fisher memberi contoh dengan kata pholigoston. Kata ini dahulu dipakai untuk menjelaskan proses pembakaran. Benda bernyala Karena ada pholigoston. Kini, setelah ditemukan Oksigen, pholigoston tidak berarti lagi.
·         Makna ketiga adalah makna intensional, yakni makna yang dimaksud oleh seorang pemakai lambang. Makna ini tidak dapat divalidasi secar empiris atau dicari rujukannya.
Kesamaan makna karena kesamaan pengalaman masa lalu atau kesamaan struktur kognitif disebut isomorfisme, isoformisme terjadi bila komunikan-komunikan berasal dari budaya yang sama, status sosial yang sama, pendidikan yang sama, ideology yang sama ; pendeknya, mempunyai sejumlah maksimal pengalaman yang sama. Pada kenyataannya tidak ada isoformisme total. Selalu tersisa ada makna perorangan.
Teori General Semantics
Bahasa adalah alat penyandian, tetapi alat yang tidak begitu baik, kata pengikut general semantics. General semantics tidak menjelaskan proses penyandian, tetapi ia menujukkan karakteristik bahasa yang mempersulit proses ini. Peletak dasar teori ini adalah Alferd Korzybski, pemain pedang, insinyur, spion, pelarian, ahli matematika, psikiater, dan akhirnya ahli bahasa.
Korzybski melambangkan asumsi dasar teori general semantics : bahasa seringkali tidak lengkap mewakili kenyataan; kata-kata hanya menangkap sebagian saja aspek kenyataan. Berikut ini nasihat Korzybski, dua bersifat perintah dan dua larangan.
1)      Berhati-hati dengan Abstraksi
Bahasa menggunakan Abstraksi. Abstraksi adalah proses memilih unsur-unsur realitas untuk membedakannya dari unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang digunakan berada pada tingkat abstraksi yang bermacam-macam. Abstraksi menyebabkan cara-cara penggunaan bahasa yang tidak cermat. Tiga buah diantaranya adalah: dead level abstracting, undue identification, Two-valued evaluation. Abstraksi kaku, terjadi bila kita berhenti pada tingkat abstraksi tertentu Two-valued evaluation, penilaian dua nilai, pemikiran kalu begini begitu ialah kecenderungan menggunakan hanya dua kata untuk melukiskan keadaan.
2)      Berhati-hati dengan Dimensi Waktu
Bahasa itu statis, sedangkan realitas itu dinamis. Umtuk mengatasi ini general semantics merekomendasikan dating(penanggalan).
3)      Jangan Mengacaukan Kata dengan Rujukannya
Hubungan antara kata dengan rujukannya tidak semena-mena. Kata itu bukan rujukan, kata hanya mewakili rujukan. Karena kita sering mengacaukan kata dengan rujukan, kita juga cenderung menganggap orang lain mempunyai rujukan yang sama untuk kata-kata yang kita ucapkan.


4)      Jangan Mengacaukan Pengalaman dengan Kesimpulan
Ketika melihat fakta, kita membuat pernyataan untuk melukiskan fakta itu. Pernyataan itu kita sebut sebagai pengalaman. Kita menarikkesimpulan itu. Pernyataan itu kita sebut pengamata. Kita menarik kesimpulan bila menghubungkan hal-hal yang diamati dengan sesuatu yang tidak teramati. Dalam pengamatan kita menghubungkan lambang dengan rujukan. Dalam kesimpulan kita menggunakan pemikiran. Pengamatan dapat diuji, diverifikasi karena itu menggunakan kata-kata abstraksi rendah. Penyimpulan tidak dapat diuji secara empiris karena itu menggunakan kata-kata berabstraksi tinggi.
b   Pesan Nonverbal
Orang mengungkapkan penghormatan kepada orang lain dengan cara yang bermacam-macam. Orang Arab menghormati orang asing dengan memeluknya. Orang-orang Polinesia menyalami orang lain dengan saling memeluk dan mengusap punggung. Orang Jawa menyalami orang yang dihormatinya dengan sungkem, Orang Jawa duduk bersial menyambut kedatangan orang yang mulia; orang belanda malah berdiri tegak. Tepuk tangan, pelukan, usapan, duduk, dan berdiri tegak adalah pesan nonverbal yang menerjemahkan gagasan, keinginan, atau maksud yang terkandung dalam hati kita.
Fungsi Pesan Nonverbal
Betapapun kekurangannya-seperti disindir Korzybski dan kawan-kawan-bahasa telah sanggup menyampaikan informasi kepada orang lain. Dalam hubungannya dengan bahasa, mengapa pesan nonverbal masih dipergunakan? Apa fungsi peran nonverbal?Mark L.Knapp (1972:9-12) menyebutkan lima fungsi nonverbal 1.) Refetisi-mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya, setelah saya menjelaskan penolakansaya, saya menggelengkan kepala berkali-kali,(2) Subtitusi-menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya, tanpa sepatah katapun anda berkata. Anda dapat menunjukkan persetujuan denagn mengangguk-angguk, (3) Kontradiksi-menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya, anda memang hebat, (4) Komplemen- melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. Misalnya, air muka anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata,(5) Aksentuasi- menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinnya. Misalnya, anda mengungkapkan betapa jengkelnya anda dengan memukul mimbar.
c Organisasi, Struktur, dan Imbauan Pesan
Aristoteles, dalam buku klasik tentang komunikasi De Arte Rhetorica, menerangkan peranan taxsis dalam memperkuat efek pesan persuasive. Yang dimaksud dengan taxsis adalah pembagian atau rangkaian penyusunan pesan. Ia menyarankan agar setiap pembicaraan disusun menurut urutan: pengantar, pertanyaan, argument, dan kesimpulan. Pada tahun 1952, Beighley meninjau kembali berbagai penelitian yang ,membandingkan efek pesan yang tersusun dengan pesan yang tidak tersusun. Ia menemukan bukti yang nyata yang menunjukkan bahwa pesan yang diorganisasikan dengan baik lebih mudah dimengerti dari pada pesan yang tidak tersusun dengan baik.
Alan H.Monroe pada akhir tahun 1930-an. Menyarankan lima langkah dalam penyusunan pesan :
1)      attention (perhatian)
2)      need (kebutuhan)
3)      satisfaction (pemuasan)
4)      visualization (visualisasi)
5)      action (tindakan)
Jadi, bila anda ingin mempengaruhi orang lain,rebutlah lebih dahulu perhatiannya, selanjutnya bangkitkan kebutuhannya, berikan petunjuk bagaimana cara memuaskan kebutuhan itu, gambarkan dalam pikirannya keuntungan dan kerugian apa yang akan diperolehnnya bila ia menerapkan atau tidak menerapkan gagasan anda, dan akhirnya doronglah dia untuk bertindak.
Sturuktur Pesan
Bayangkan Anda harus menyampaikan informasi di hadapan khalayak yang tidak sefaham dengan anda. Anda harus menentukan apakah bagian penting dari argumentasi anda yang harus didahulukan atau bagian yang kurang penting. Ataukah kita harus membiarkan hanya argument-argument yang menunjang kita saja atau harus membicarakan yang pro dan kontra sekaligus.untuk menjawab sekaligus pertanyaan yang pertama banyak penelitian telah dilakukan disekiotar konsep primacy-recency. Koehler et al.(1978:170-172), dengan mengutip Cohen, menyebutkan kesimpulan peneliotian tersebut sebagai berikut:
1) Bila pembicara menyajikan dua sisi persoalan (yang pro dan kontra), tidak ada keuntungan untuk berbiacara yang pertama, karena berbagai kondisi(waktu, khalayak, tempat dan sebagainnya) akan menentukan pembicara yang paling berpengaruh..
2) Bila pendengar secara terbuka memihaksatu sisi argument, sisi yang lain tidak mungkin mengubah posisi mereka. Sikap nonkompromistis ini mungkin timbul karena kebutuhan untuk mempertahankan harga diri. Mengubah posisi akan  membuat orang kelihatan tidak konsisten, mudah dipengaruhi dan bahkan tidak jujur.
3) Jika pembicara menyajiakan dua sisi persoalan, kita biasanya lebih mudah dipengaruhi oleh sisi yang disajikan lebih dahulu. Jika ada kegiatan diantara penyajian, atau jika kita diperingati oleh pembicara tentang kemungkinan disesatkan orang, maka apa yang dikatakan terakhir akan lebih banyak memberikan efek. Jika pendengar tidak tertarik pada subjek pembicaraan kecuali setelah menerima informasi tentang hal itu, mereka akan sukar mengingat dan menerapkan informasi tersebut. Sebaliknya, jika mereka sudah tertarik pada suatu persoalan , mereka akan mengigatnya baik-baik dan menerapkannya.
4) Perubahan sikap lebih sering terjadi jika gagasan yang dikehendaki. Atau yang diterima disajikan sebelum gagasan yang kurang dikehendaki. Jika pada awal penyajian, komunikator menyampaikan gagasan yang menyenagkan kita, kita akan cenderung dan memperhatikan dan menerima pesan-pesan berikutnya. Sebaliknya, jika ia memulai dengan hal-hal yang tidak menyenagkan kita, kita akan menjadi kristis dan cenderung menolak gagasan berikutnya, betapapun baiknya.
5) Urutan pro-kon  efektif fari pada urutan kon-pro bila digunakan oleh sumber yang memiliki otoritas dan dihormati oleh khalayak.
6)  Argumen yang terakhir didengar akan lebih efektif bila ada jangka waktu cukup lama di antara dua pesan, dan pengujian segera terjadi setelah pesan kedua.


Imbauan Pesan (Message Appeals)
Bila pesan-pesan kita dimaksudkan untuk mempengaruhi orang lain maka kita harus menyentuh motif yang menggerakan atau mendorong prilaku komunikate. Dengan perkataan lain, kita secara psikologis mengimbau khalayak untuk menerima dan melaksanakan gagasan kita. Dalam uraian kita yang terakhir ini, kita akan membicarakan imbauan rasional, imbauan emosional, imbauan takut, imbauan ganjaran dan imbauan motivasional. Imbauan rasional didasarkan pada anggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk rasional yang baru bereaksi pada imbauan rasional, bila imbauan rasional tidak ada. Menggunakan imbauan rasional artinya menyakinkan orang lain dengan pendekatan logis atau penyajian bukti-bukti.
Imbauan emosional menggunakan persyaratan –persyaratan atau bahasa yang menyentuh emosi komunikate. Imbauan takut menggunakan pesan yang mencemaskan, mengancam, atau meresahkan. Imbauan ganjaran menggunakan rujukan yang menjanjikan komunikate sesuatu yang mereka perlukan atau yang menjanjikan komunikate Sesuatu yang mereka perlukan atau yan mereka inginkan. Imbauan motivasional menggunakan imbauan motif (motive appeals) yang menyentuh kondisi intern dalam diri manusia.










Daftar Pustaka
Rakhmat , Jalaluddin (2001). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Effendy, Onong Uchjana (2006). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.