PSIKOLOGI KOMUNIKATOR
Pada bab dahulu, kita telah mendiskusikan tentang Psikologi Komunikate
(yang secara umum dicakup pada karakteristik manusia komunikan), psikologi
penerimaan dan pengolahan pesan (dalam system komunikasi intrapersonal), dan
psikologi media komunikasi (baik dalam konteks interpersonal maupun konteks
komunikasi massa). Lawsell menyebutkan komunikasi who says what in what
channel tho whom with what effect. Yang belum di uraikan ialah who says
what. Whos says kita ulas pada psikologi komunikator, dan What kita
uraikan pada psikologi pesan.
1.Psikologi Komunikator
Lebih dari 2000 tahun yang
lalu, Aristoteles menulis :
“Persuasi tercapai karena
karakteristik personal pembicaranya, yang ketika ia menyampaikan pembicaraannya
kita menganggapnya dapat dipercaya. Kita lebih penuh dan lebih cepat percaya
pada orang-orang baik daripada orang lain : Ini berlaku umummnya pada masalah
apa saja dan secara
mutlak berlaku ketika tidak mungkin ada kepastian dan pendapat terbagi. Tidak
benar, anggapan sementara penulisa retorika bahwa kebaikan personal yang di
ungkapkan pembicara tidak berpengaruh apa-apa pada kekuatan persuasinya;
sebaliknya, karakternya hampir bisa disebut sebagai alat persuasi yang
paling efektif yang dimilikinya”. (Aristoteles, 195:45)
Aristoteles menyebut karakter komunikator ini sebagai ethous. Ethous
terdiri dari pikiran baik, akhlak yang baik, dan maksud yang baik (good sense,
good moral, character, good will).Pendapat Aristoteles ini diuji secara ilmiah
2300 tahun kemudian oleh Carl Hovland dan Walter Weiss (1951). Mereka melakukan
eksperimen pertama tentang psikologi komunikator. Kepada sejumlah besar subjek
disampaikan pesan tentang kemungkinan membangun kapal selam yang digerakkan
oleh tenaga atom (waktu itu, menggunakan energi atom masih merupakan impian).
Hovland dan Weiss menyebut ethous ini credibility yang
terdiri dari dua unsur : Expertise (keahlian) dan trustworthiness
(dapat dipercaya).Kedua komponen ini telah disebut dengan istilah-istilah lain
oleh ahli komunikasi yang berbeda. Untuk expertness, McCroskey (1968)
menyebutnya authoritativeness : Markham (1968) menamainya factor reliablelogical:
berlo, Lemert dan Mertz (1966) menggunakan Qualification. Untuk trusworthiness,
peneliti lain
menggunakan istilah safety, character, atau evaluative factor. Kita
tidak akan mempersoalkan mana istilah yang benar. Semua kita sebut saja
kredibilitas, tetapi kita tidak hanya melihat pada kredibilitas sebagai factor
yangb mempengaruhi efektifitas sumber.
Kita juga akan melihat dua unsure lainnya : atraksi komunikator (source
attractiviness) dan kekuasaan (source power).
Seluruhnya-kredibilitas, atraksi dan kekuasaan-kita sebut sebagai ethous
(sebagai penghormatan pada aristoteles, psikologi komunikasi yang pertama).
Seluruhnya -kredibilitas, atraksi dan kekuasaan-, kita sebut sebagai ethous
(sebagai penghormatan kepada Aristoteles, psikolog komunikasi yang pertama).
Dimensi-dimensi ethous akan kita bicarakan pada bagian berikutnya.
a Dimensi-Dimensi Ethos
Ethos diartikan sebagai sumber kepercayaan (source credibility) yang
ditunjukkan oleh seorang orator (komunikator) bahwa ia memang pakar dalam
bidangnya, sehingga oleh karena seorang ahli, maka ia dapat dipercaya.
Diatas telah kita uraikan bahwa ethos atau faktor-faktor yang mempengaruhi
efektifitas komunikator terdiri dari kredibilitas, atraksi, dan kekuasaan.
Ketiga dimensi ini berhubungan dengan jenis pengaruh sosial yang
ditimbulkannya. Menurut Herbert C. Kelman (1957) pengaruh komunikasi kita pada
orang lain berupa tiga hal : internalisasi (internalization), identifikasi
(identification), dan ketundukan (compliance).
Dimensi ethos yang paling relevan di sini ialah kredibilitas,
keahlian komunikator atau kepercayaan kita pada komunikator. Identifikasi
terjadi bila individu mengambil perilaku yang berasal dari orang atau kelompok
lain karena perilaku itu berkaitan dengan hubungan yang mendefinisikan diri
secara memuaskan (satisfying self-defining relationship) dengan orang
atau kelompok itu, hubungan yang mendefinisikan diri artinya konsep diri. Dalam
identifikasi, individu mendefinisikan peranannya sesuai dengan peran orang
lain. “He attempts to be like or actually to be the other person,” ujar
Kelman. Ia berusaha seperti atau benar-benar menjadi orang lain. Dengan
mengatakan pa yang iakatakan, melakukan apa yang ia lakukan, mempercayai apa
yang ia percayai.individu mendefinisikan sesuai dengan yang mempengaruhinya.
Dimensi ethos yang paling relevan dengan identifikasi adalah atraksi
(attractiviness)–daya tarik komunikator.
Ketundukan (compliance) terjadi bila individu menerima pengaruh dari orang
atau kelompok lain karena ia berharap memperoleh reaksi yang menyenangkan dari
orang atau kelompok tersebut. Ia ingin mendapatkan ganjaran atau menghindari
hukuman dari pihak yang mempengaruhinya. Dalam ketundukan, orang menerima
perilaku yang di anjurkan bukan karena mempercayainya, tetapi Karena perilaku
tersebut membantunya untuk menghasilkan efek social yang memuaskan. Kredibilitas,
Atraksi, dan kekuasaan kan kita perinci pada bagian berikutnya.
Kredibilitas
Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikate tentang
sifat-sifat komunikator. Dalam definisi ini terkandung dua hal :
1. Kredibilitas adalah persepsi komunikate, jadi tidak inheren dalam diri
komunikator.
2. Kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator, yang selanjutnya
akan kita sebut sebagai komponen-komponen kredibilitas.
Karena kredibilitas itu masalah persepsi, kredibilitas berubah bergantung
pada pelaku persepsi (komunikate), topic yang dibahas dan situasi. Sekali lagi,
kredibilitas tidak ada pada diri komunikator, tetapi terletak pada persepsi
komunikate. Oleh karena itu, ia dapat berubah atau di ubah, dapat terjadi atau
dijadikan. Misalnya, seorang dosen begitu didengar oleh mahasiswanya, tetapi
belum tentu di depan rektornya. Ini mengandung arti bahwa persepsi mahasiswa
dan persepsi rektor sangat berbeda, tergantung siapa yang memberikan persepsi
tersebut.
Hal-hal yang mempengaruhi persepsi komunikate tentang komunikator sebelum
ia berlakukan komunikasinya disebut prior ethos (Andersen,1972:82).
Sumber komunikasi memperoleh prior ethos karena berbagai hal, kita
membentuk gambaran tentang diri komunikator dari pengalaman langsung dengan
komunikator itu atau dari pengalaman wakilan (vicarious experiences),
misalnya, karena sudah lama bergaul dengan dia dan sudah mengenal integritas
kepribadiannya atau karena kita sudah sering melihat atau mendengarnya dalam
media masa (ingat lagi, efek media massa dalam memberikan status). Boleh jadi
kita membentuk prior ethos komunikator dengan menghubungkannya pada
kelompok rujukan orang itu. Piror Ethos bisa terbentuk karena sponsor
atau pihak-pihak yang mendukung komunikator. Atau juga timbul karena
petnjuk-petunjuk nonverbal yang ada pada diri komunikator.
Pada satu kelompok dikatakan bahwa pembicara adalah hakim yang banyak
menulis masalah kenakalan remaja (kredibilitas tinggi), dan pada
kelompoklain dilukiskan pembicara sebagai pengedar narkotik (kredibilitas
rendah). Keduannya berbicara tentang perlunya perlakuan yang lebih
ringan terhadap remaja-remaja nakal.
Dengan membicarakan prior ethos kita mengisyaratkan factor waktu
dalam kredibilitas. Mungkin anda diperkenalkan sebagai orang pandai pada
permulaan komunikasi. Anda memiliki kredibilitas (Prior ethos). Sedangkan
intrinsic ethos di b entuk oleh topic yang dipilih, cara penyampaian,
teknik-teknik pengembangan pokok bahasan, bahasa yang digun akan, dan
organisasi pesan atau sistematika yang dipakai.
Kita sudah membicarakan kredibiltas sebagai persepsi. Lalu, apa saja yang
merupakan komponen-komponen kredibilitas ? Dua komponen kredibilitas yang
paling penting adalah keahlian dan kepercayaan. Keahlian adalah
kesan yang dibentuk komunikate tentang kemampuan komunikator dalam hubungannya
dengan topik yang dibicarakan. Komunikator yang dianggap rendah pada keahlian
dianggap sebagai tidak berpengalaman, tidak tahu, atau bodoh. Kepercayaan adalah
kesan komunikate tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya. Apakah
komunikator di anggap jujur, tulus, bermoral, adil atau sopan ? Aristoteles menyebutnya
Good moral Character. Quintillianus menulis, A good man speek well;
orang baik berbicara baik.
Koehler, Annatol, dan Applbaum (1978: 144-147) menambahkan empat komponen
lagi :
1. Dinamisme
Komunikator memiliki dinamisme, bila ia dipandang sebagai bergairah,
bersemangat, aktif, tegas dan berani. Sebaliknya, komunikator yang tidak
dinamis dianggap pasif, ragu-ragu, lesu dan lemah. Dinamisme umumnya berkenaan
dengan cara berkomunikasi. Dalam komunikasi, dinamisme memperkokoh kesan
keahlian dan kepercayaan
2. Sosialibiliti
Sosialbilitas adalah kesan komunikate tentang komunikator sebagai orang
yang periang dan senang bergaul.
3. Koorientasi
Koorientasi merupakan kesan komunikate tentang komunikator sebagai orang
yang mewakili kelompok yang kita senangi, yang mewakili nilai-nilai kita.
4. Karisma
Karisma digunakan untuk menunjukan suatu sifat luar biasa yang
dimiliki komunikator yang menarik dan mengendalikan komunikate seperti magnet
yang menarik benda-benda disekitarnya.
Atraksi
Atraksi (attractiveness) adalah daya tarik komunikator yang besumber dari
fisik. Seorang komunikator akan mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan
sikap melalui mekanisme daya tarik (fisik), misalnya, komunikator disenangi
atau dikagumi yang memungkinkan komunikate menerima kepuasan.
Shelli Chaiken (1979), psikolog yang cantik nan manis dari University of
Massachusest, menelaah pengaruh kecantikan komunikator terhadap persuasi dengan
studi lapangan. Ia mengkritik penelitian laboratorium yang meragukan pengaruh atraksi
fisik, karena menghasilkan kesimpulan yang beraneka ragam. Penelitian
Laboratoris terlalu melebih-lebihkan daya tarik fisik, dan menjadikan mahasiswa
yang menjadi objek penelitian terpengaruh oleh penelitian untuk menjawab sesuai
dengan kehendak peneliti.
Atraksi fisik menyebabkan komunikator menarik, dan karena menarik ia
memiliki daya persuasive. Tetapi kita juga tertarik pada seseorang karena
adanya beberapa kesamaan antara dia dengan kita. Kalau begitu apakah komunikate
akan lebih mudah menerima pesan komunikator bila ia memandang banyak kesamaan
di antara keduanya ?
Benar, kata Everett M.Rogers, setelah meninjau banyak penelitian
komunikasi, ia membedakan antara kondisi homophily dan heterophily. Pada
kondisi pertama, komunikator dan komunikate merasakan ada kesamaan dalam status
sosial ekonomi, pendidikan, sikap dan kepercayaan. Pada kondisi kedua, terdapat
perbedaan status sosial ekonomi, pendidikan dan kepercayaan antara komunikate
dan komunikator. Komunikasi akan lebih efektif pada kondisi homophily
daripada kondisi heterophily. Rogert membuktikan pengaruh factor
kesamaan ini dari penelitian sosisologis. Serangkaian studi psikologis yang
dilakukan Stotland dkk, memperkuat teori Rogert. Karena itulah komunikator yang
ingin mempengaruhi orang lain sebaiknya memulai dengan menegaskan kesamaan
antara dirinya dengan komunikate. Kita dapat mempersamakan diri kita dengan
komunikate dengan menegaskan persamaan dalam kepercayaan, sikap, maksud, dan
nilai-nilai sehubungan dengan suatu persoalan.
Simons menerangkan mengapa komunikator yang dipersepsi memiliki kesamaan
dengan komunikate cenderung bekomunikasi lebih efektif :
·
Pertama, kesamaan mempermudah proses
penyandibalikan (decoding), yakni proses menerjemahkan lambang-lambang yang
diterima menjadi gagasan-gagasan.
·
Kedua, kesamaan membantu membangun premis
(putusan yang sudah diketahui) yang sama. Premis yang sama membantu mempermusah
proses deduktif. Ini berarti bila bila kesamaan disposisisonal relevan dengan
topik-topik persuasi, orang akan terpengaruh oleh komunikator.
·
Ketiga, kesamaan menyebabkan komunikate
tertarik pada komunikator. Orang-orang cenderung menyukai orang yang mempunyai
kesamaan disposisional dengan kita. Karena tertarik pada komunikator, kita
akan cenderung menerima gagasan-gsagasannya.
·
Keempat, kesamaan menumbuhkan rasa hormat
dan percaya pada komunikator. Namun alasan ini belum bisa dibuktikan secara
meyakinkan dalam berbagai penelitian.
Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan. Seperti kredibilitas dan
atraksi, ketundukan timbul dari interaksi antara komunikator dan komunikate.
Kekuasaan menyebabkan seorang komunikator dapat “memaksakan” kehendaknya kepada
orang lain, karena ia memiliki sumber daya yang sangat penting (critical
resources). Berdasarkan sumber daya yang dimilkinya, French dan Raven
menyebutkan jenis-jenis kekuasaan. Klasifikasi ini kemudian dimodifikasikan
Raven (1974) dan menghasilkan lima jenis kekuasaan :
1. Kekuasaan Koersif (coersive power). Kekuasaan koersif menunjukkan
kemampuan komunikator untuk mendatangkan ganjaran atau memberikan hukuman pada
komunikate. Ganjaran dan hukuman itu dapat bersifat personal (misalnya benci
dan kasih sayang) atau impersonal (kenaikan pangkat atau pemecatan).
2. Kekuasaan Keahlian (expert power). Kekuasaan ini berasal
dari pengetahuan, pengalaman, keterampilan, atau kemampuan yang dimiliki
komunikator.
3. Kekuasaan Informasional (informasional power). Kekuasaan
ini berasal dari isi komunikasi tertentu atau pengetahuan baru yang dimiliki
oleh komunikator.
4. Kekuasaan Rujukan (referent power). Disini komunikate
menjadikan komunikator sebagai kerangka rujukan untuk menilai dirinya.
Komunikator dikatakan memiliki kekuasaan rujukan bila ia berhasil menanamkan
kekaguman pada komunikate, sehingga seluruh perilakunya diteladani.
5. Kekuasaan Legal (legitimate power). Kekuasaan ini
berasal dari seperangkat peraturan norma yang menyebabkan komunikator berwenang
untuk melakukan suatu tindakan.
b PATHOS
Pathos diartikan sebagai “imbauan emosional (emitional appeals)” yang ditunjukkan
oleh seorang rhetor dengan menampilkan gaya dan bahasanya yang membangkitkan
kegairahan dengan semangat yang berkobar-kobar pada khalayak (Effendy,
1993:352).
Sejatinya, pathos ini perlu dimiliki oleh seorang ahli pidato (rethor) yang
tercemin dari gaya serta bahasanya yang mampu membangkitkan khalayak untuk
tujuan-tujuan tertentu. Indonesia memiliki Ir. Soekarno yang memiliki pesona
dalam berbicara di depan umum (publik). Semangat pergerakan untuk mengusir
penjajah pada waktu itu, bukan semata-mata ditentukan oleh ujung senjata,
melainkan pula terletak diujung lidah. Retorika yang baik akan sanggup
“membius” khalayak untuk bersatu mengusir penjajah.
c LOGOS
Logos diartikan sebagai “imbauan logis (logical appeals) yang ditunjukkan oleh
seorang orator bahwa uraiannya masuk akal sehingga patut diikuti dan
dilaksanakan oleh khalayak (Effendy, 1993:352).
Sama halnya dengan pathos, logos pun perlu dimiliki oleh seorang orator/rethor.
Kahaayak akan mau dan “bersuka rela” mengikuti ajakan/anjuran komunikator
apabila pesannya disampaikan dengan uraiannya yang masuk akal, dan dengan
argumentasi yang kuat. Tidak semua orang memiliki logos dalam setiap perkataan
yang disampaikanya. Mungkin ada orang yang cenderung meiliki pathos daripada
logos atau sebaliknya. Ada satu mitos yang mungkin anda bisa percaya atau
tidak: “selain kematian, hal lain yang menakutkan adalah berbicara di depan
umum”. Namun bagi seorang komunikator “ulung” yang melengkapi dirinya dengan
ethos, pathos dan logos, hal itu tidak berlaku.
2. Psikologi
Pesan
Seorang Psikolinguistik dari Rockefeller University, George A. Miller
pernah menulis :
“Kini ada seperangkat perilaku yang dapat megedalikan pikiran dan tindakan
orang lai secara perkasa. Teknik pengendalian ini dapat menyebabkan Anda
melakukan sesuatu yang tidak terbayangkan. Anda tidak dapat melakukannya tanpa
adana teknik itu. Teknik itu dapat mengubah pendapat dan keyakinan, dapa
digunakan untuk menipu anda dapat membuat anda gembira dan sedih, dapat
memasukkan gagasan-gagasan baru ke dalam kepala Anda, dapat membuat anda
menginginkan sesuatu yang tidak Anda miliki. Anda pun bahkan dapat
menggunakannya untuk mengendalikan diri Anda sendiri. Teknik ini adalah alat
yang luar biasa perkasanya dan dapat digunakan untuk apa saja.” (miller, 1974:
4)
Teknik ini tidak ditemukan oleh psikolog, tidak berasal dari pemberian
mahluk halus, tidak juga diperoleh secara para psikologis atau lewat ilmu
klenik. Teknik ini telah dimiliki bahasa. Dengan bahasa, yang merupakan
kumpulan kata-kata, anda dapat mengatur perilaku orang lain.
Manusia mengucapkan kata-kata dan kalimat dengan cara-cara tertentu. Setiap
cara berkata memberikan maksud tersendiri. Cara-cara ini kita sebut paralinguistic.
Akan tetapi, manusia juga menyampaikan pesan dengan cara-cara lai selain dengan
bahasa, misalnya dengan isyarat; ini disebut pesan ekstralinguistik. Pesan
paralinguistik dan ekstralinguistik akan kita uraikan dalam satu
bagian yang kita sebut Pesan nonverbal. Selanjutnya kita akan
membicarakan struktur dan imbauan pesan.
a Pesan Linguistik
Ada dua cara mendefinisikan bahasa : fungsional dan formal. Definisi
fungsional melihat bahasa dari segi fungsinya, sehingga bahasa diartikan
sebagai “alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan”
(socially shared means for expressing ideas). Definisi formal menyatakan bahasa
sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan
tata bahasa (all the conceivable sentences that could be generated according to
the rules of its grammar).
Tata bahasa meliputi tiga unsur : fonologi, sintaksis, dan semantic.
Menurut George A.Miller (1974:8), untuk mampu menggunakan bahasa tertentu, kita
harus menguasai ketiga tahap pengetahuan bahasa di atas, di tambah dua tahap
lagi.
· Pada tahap pertama, kita harus memiliki informasi fonologis tentang
bunyi-bunyi dalam bahasa itu.
· Tahap Kedua, Kita harus memiliki pengetahuan sintatsis tentang cara
pembentukan kalimat.
· Tahap ketiga, kita harus mengetahui secara leksikal arti kata atau
gabungan kata-kata.
· Pada tahap keempat, tinggal kita dan dunia yang kita bicarakan.
· Tahap kelima kita harus mempunyai semacam system kepercayaan untuk menilai
apa yang kita dengar.
Bagaimana kita dapat berbahasa ?
Penemuan Victor menunjukan bahwa bila dipisahkan dari lingkungan manusia,
seorang anak tidak memiliki kemampuan bicara. Sebaliknya, kita melihat anak
yang dibesarkan didalam masyarakat manusia, pada usia 4 tahun sudah bisa
berdialog denga kawan-kawannya dalam bahasa ibunya. Dalam berbahasa, Psikologi
membagi kedalam 2 teori yaitu : teori belajar dari behaviorisme dan teori
naratisme dari Noam Chomsky.
Menurut teori belajar, anak-anak memperoleh pengetahuan bahasa
melalui tiga proses : asosiasi, imitasi, dan peneguhan. Asosiasi berarti
melazimkan suatu bunyi dengan obyek tertentu. Imitasi berarti menirukan
pengucapan dan struktur kalimat yang didengarnya. Peneguhan dilaksudkan sebagai
ungkapan kegembiraan yang dinyatakan ketika anak mengucapkan kata-kata yang
benar. Psikolog dari Harvad, B.F.Skinner menerapkan ketiga prinsip ini ketika
ia menjelaskan tiga macam respons yang terjadi pada anak-anak kecil, yang
disebutnya sebagai respons mand, tact, dan echoice.
Respons mand dimulai ketika anak-anak
mengeluarkan bunyi sembarangan. Respons tact terjadi bila anak menyentuh
objek, kemudian secara sembarangan ia mengeluarkan bunyi. Respons echoic
terjadi ketika anak menirukan ucapan orang tuanya dalam hubungan dengan stimuli
tertentu.
Menurut ahli bahasa dari Massachuset Institute Technology ini, teori
belajar hanyalah “play acting at sicience”, suatu penjelasan yang sama sekali
tidak tepat tetapi dibungkus dengan istilah-istilah yang bernada ilmiah.
Menurut Chomsky, setiap anak mampu menggunakan suatu bahasa karena adanya
pengetahuan bawaan (preexistent knowledge) yang telah deprogram secara genetic
dalam otak kita. Teori perkembangan mental dari Jean Piaget memperkuat teori
Chomsky dengan menunjukkan adanya struktur universal yang menimbulkan pola
berpikir yang sama pada tahap-tahap tertentu pada perkembangan mental
anak-anak.
Bahasa dan Proses Berpikir
Secara singkat teori ini dapat disimpulkan bahwa pandangan kita tentang
dunia dibentuk oleh bahasa ; dan karena bahasa berbeda, pandangan kita tentang
dunia pun berbeda pula. Secara selektif, kita menyaring data sensori yang masuk
seperti yang telah deprogram oleh bahasa yang kita pakai. Dengan begitu
masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda hidup dalam dunia sensori yang
berbeda pula.
Dalam hubungannya dengan berpikir, konsep-konsep dalam suatu bahasa
cenderung menghambat atau mempercepat proses pemikiran tertentu. Ada bahasa
yang dengan mudah dapat dipergunakan untuk memikirkan masalah-masalah filsafat,
tetapi ada juga bahasa yang sukar dipakai bahkan untuk memecahkan
masalah-masalah matematika yang sederhana.
Bahasa memungkinkan kita menyandi (code) peristiwa-peristiwa dan
objek-objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa kita mengabstraksikan
pengalaman kita, dan yang lebih penting mengkomunikasikan kepada orang lain.
“pemikiran yang tinggi bergantung pada manipulasi lambing,” kata Morton Hunt (1982:227),”
dan walaupun lambang-lambang nonlonguistik seperti matematika dan seni sudah
canggih, lambang-lambang itu sempit. Sebaliknya, bahasa merupakan pemikiran.
Bahasa adalah prasyarat kebudayaan, yang tidak dapat tegak tanpa itu dengan
sistem lambang yang lain. Dengan bahasa, kita, manusia, mengkomunikasikan
kebanyakan pemikiran kita kepada orang lain dan menerima satu sama lain
hidangan pikiran (food for thought).
Kata-kata dan Makna
Konsep makna telah menarik menarik perhatian komunikasi, psikologi, sosiologis,
antropologis, dan linguistic. Banyak antara makna penjelasan tentang makna
terlalu kabur dan spekulatif kata Jerold katz (1973:42). Brodbeck (1963)
memenjernihkan pembicaraan dengan membagi makna pada tiga corak.
·
Makna yang pertama adalah makna inferensial,
yakni makna satu kata (lambang) adalah objek, pikiran, gagasan, konsep yang
dirujuk oleh kata tersebut. Dalam uraian Ogden dan Richards (1946), proses
pemberian makna (reference process) terjadi ketika kita menghubungkan lambang
dengan yang ditunjukkan lambang (disebut rujukan atau referent). Satu lambang
dapat menunjukkan banyak rujukan.
·
Makna yang kedua menunjukkan arti (significance)
suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep lain. Fisher memberi
contoh dengan kata pholigoston. Kata ini dahulu dipakai untuk menjelaskan
proses pembakaran. Benda bernyala Karena ada pholigoston. Kini, setelah
ditemukan Oksigen, pholigoston tidak berarti lagi.
·
Makna ketiga adalah makna intensional, yakni
makna yang dimaksud oleh seorang pemakai lambang. Makna ini tidak dapat
divalidasi secar empiris atau dicari rujukannya.
Kesamaan makna karena kesamaan pengalaman masa lalu atau kesamaan struktur
kognitif disebut isomorfisme, isoformisme terjadi bila komunikan-komunikan
berasal dari budaya yang sama, status sosial yang sama, pendidikan yang sama,
ideology yang sama ; pendeknya, mempunyai sejumlah maksimal pengalaman yang
sama. Pada kenyataannya tidak ada isoformisme total. Selalu tersisa ada makna
perorangan.
Teori General Semantics
Bahasa adalah alat penyandian, tetapi alat yang tidak begitu baik, kata
pengikut general semantics. General semantics tidak menjelaskan proses
penyandian, tetapi ia menujukkan karakteristik bahasa yang mempersulit proses
ini. Peletak dasar teori ini adalah Alferd Korzybski, pemain pedang, insinyur,
spion, pelarian, ahli matematika, psikiater, dan akhirnya ahli bahasa.
Korzybski melambangkan asumsi dasar teori general semantics : bahasa
seringkali tidak lengkap mewakili kenyataan; kata-kata hanya menangkap sebagian
saja aspek kenyataan. Berikut ini nasihat Korzybski, dua bersifat perintah dan
dua larangan.
1) Berhati-hati dengan Abstraksi
Bahasa menggunakan Abstraksi. Abstraksi adalah proses memilih unsur-unsur
realitas untuk membedakannya dari unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang
digunakan berada pada tingkat abstraksi yang bermacam-macam. Abstraksi
menyebabkan cara-cara penggunaan bahasa yang tidak cermat. Tiga buah
diantaranya adalah: dead level abstracting, undue identification, Two-valued
evaluation. Abstraksi kaku, terjadi bila kita berhenti pada tingkat
abstraksi tertentu Two-valued evaluation, penilaian dua nilai, pemikiran
kalu begini begitu ialah kecenderungan menggunakan hanya dua kata untuk
melukiskan keadaan.
2) Berhati-hati dengan Dimensi Waktu
Bahasa itu statis, sedangkan realitas itu dinamis. Umtuk mengatasi ini
general semantics merekomendasikan dating(penanggalan).
3) Jangan Mengacaukan Kata dengan Rujukannya
Hubungan antara kata dengan rujukannya tidak semena-mena. Kata itu bukan
rujukan, kata hanya mewakili rujukan. Karena kita sering mengacaukan kata
dengan rujukan, kita juga cenderung menganggap orang lain mempunyai rujukan
yang sama untuk kata-kata yang kita ucapkan.
4)
Jangan Mengacaukan Pengalaman dengan Kesimpulan
Ketika melihat fakta, kita membuat pernyataan untuk melukiskan fakta itu.
Pernyataan itu kita sebut sebagai pengalaman. Kita menarikkesimpulan itu.
Pernyataan itu kita sebut pengamata. Kita menarik kesimpulan bila menghubungkan
hal-hal yang diamati dengan sesuatu yang tidak teramati. Dalam pengamatan kita
menghubungkan lambang dengan rujukan. Dalam kesimpulan kita menggunakan
pemikiran. Pengamatan dapat diuji, diverifikasi karena itu menggunakan
kata-kata abstraksi rendah. Penyimpulan tidak dapat diuji secara empiris karena
itu menggunakan kata-kata berabstraksi tinggi.
b Pesan Nonverbal
Orang mengungkapkan penghormatan kepada orang lain dengan cara yang
bermacam-macam. Orang Arab menghormati orang asing dengan memeluknya.
Orang-orang Polinesia menyalami orang lain dengan saling memeluk dan mengusap
punggung. Orang Jawa menyalami orang yang dihormatinya dengan sungkem, Orang
Jawa duduk bersial menyambut kedatangan orang yang mulia; orang belanda malah
berdiri tegak. Tepuk tangan, pelukan, usapan, duduk, dan berdiri tegak adalah
pesan nonverbal yang menerjemahkan gagasan, keinginan, atau maksud yang
terkandung dalam hati kita.
Fungsi Pesan Nonverbal
Betapapun kekurangannya-seperti disindir Korzybski dan kawan-kawan-bahasa
telah sanggup menyampaikan informasi kepada orang lain. Dalam hubungannya
dengan bahasa, mengapa pesan nonverbal masih dipergunakan? Apa fungsi peran
nonverbal?Mark L.Knapp (1972:9-12) menyebutkan lima fungsi nonverbal 1.)
Refetisi-mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal.
Misalnya, setelah saya menjelaskan penolakansaya, saya menggelengkan kepala
berkali-kali,(2) Subtitusi-menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya, tanpa
sepatah katapun anda berkata. Anda dapat menunjukkan persetujuan denagn
mengangguk-angguk, (3) Kontradiksi-menolak pesan verbal atau memberikan makna
yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya, anda memang hebat, (4) Komplemen-
melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. Misalnya, air muka anda
menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata,(5)
Aksentuasi- menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinnya. Misalnya, anda
mengungkapkan betapa jengkelnya anda dengan memukul mimbar.
c Organisasi, Struktur, dan Imbauan Pesan
Aristoteles, dalam buku klasik tentang komunikasi De Arte Rhetorica, menerangkan
peranan taxsis dalam memperkuat efek pesan persuasive. Yang dimaksud dengan
taxsis adalah pembagian atau rangkaian penyusunan pesan. Ia menyarankan agar
setiap pembicaraan disusun menurut urutan: pengantar, pertanyaan, argument, dan
kesimpulan. Pada tahun 1952, Beighley meninjau kembali berbagai penelitian yang
,membandingkan efek pesan yang tersusun dengan pesan yang tidak tersusun. Ia
menemukan bukti yang nyata yang menunjukkan bahwa pesan yang diorganisasikan
dengan baik lebih mudah dimengerti dari pada pesan yang tidak tersusun dengan
baik.
Alan H.Monroe pada akhir tahun 1930-an. Menyarankan lima langkah dalam
penyusunan pesan :
1) attention (perhatian)
2) need (kebutuhan)
3) satisfaction (pemuasan)
4) visualization (visualisasi)
5) action (tindakan)
Jadi, bila anda ingin mempengaruhi orang lain,rebutlah lebih dahulu
perhatiannya, selanjutnya bangkitkan kebutuhannya, berikan petunjuk bagaimana
cara memuaskan kebutuhan itu, gambarkan dalam pikirannya keuntungan dan
kerugian apa yang akan diperolehnnya bila ia menerapkan atau tidak menerapkan
gagasan anda, dan akhirnya doronglah dia untuk bertindak.
Sturuktur Pesan
Bayangkan Anda harus menyampaikan informasi di hadapan khalayak yang tidak
sefaham dengan anda. Anda harus menentukan apakah bagian penting dari
argumentasi anda yang harus didahulukan atau bagian yang kurang penting.
Ataukah kita harus membiarkan hanya argument-argument yang menunjang kita saja
atau harus membicarakan yang pro dan kontra sekaligus.untuk menjawab sekaligus
pertanyaan yang pertama banyak penelitian telah dilakukan disekiotar konsep
primacy-recency. Koehler et al.(1978:170-172), dengan mengutip Cohen,
menyebutkan kesimpulan peneliotian tersebut sebagai berikut:
1) Bila pembicara menyajikan dua sisi persoalan (yang pro dan kontra),
tidak ada keuntungan untuk berbiacara yang pertama, karena berbagai
kondisi(waktu, khalayak, tempat dan sebagainnya) akan menentukan pembicara yang
paling berpengaruh..
2) Bila pendengar secara terbuka memihaksatu sisi argument, sisi yang lain
tidak mungkin mengubah posisi mereka. Sikap nonkompromistis ini mungkin timbul
karena kebutuhan untuk mempertahankan harga diri. Mengubah posisi akan
membuat orang kelihatan tidak konsisten, mudah dipengaruhi dan bahkan tidak jujur.
3) Jika pembicara menyajiakan dua sisi persoalan, kita biasanya lebih mudah
dipengaruhi oleh sisi yang disajikan lebih dahulu. Jika ada kegiatan diantara
penyajian, atau jika kita diperingati oleh pembicara tentang kemungkinan
disesatkan orang, maka apa yang dikatakan terakhir akan lebih banyak memberikan
efek. Jika pendengar tidak tertarik pada subjek pembicaraan kecuali setelah
menerima informasi tentang hal itu, mereka akan sukar mengingat dan menerapkan
informasi tersebut. Sebaliknya, jika mereka sudah tertarik pada suatu persoalan
, mereka akan mengigatnya baik-baik dan menerapkannya.
4) Perubahan sikap lebih sering terjadi jika gagasan yang dikehendaki. Atau
yang diterima disajikan sebelum gagasan yang kurang dikehendaki. Jika pada awal
penyajian, komunikator menyampaikan gagasan yang menyenagkan kita, kita akan
cenderung dan memperhatikan dan menerima pesan-pesan berikutnya. Sebaliknya,
jika ia memulai dengan hal-hal yang tidak menyenagkan kita, kita akan menjadi
kristis dan cenderung menolak gagasan berikutnya, betapapun baiknya.
5) Urutan pro-kon efektif fari pada urutan kon-pro bila digunakan
oleh sumber yang memiliki otoritas dan dihormati oleh khalayak.
6) Argumen yang terakhir didengar akan lebih efektif bila ada jangka
waktu cukup lama di antara dua pesan, dan pengujian segera terjadi setelah
pesan kedua.
Imbauan Pesan (Message Appeals)
Bila pesan-pesan kita dimaksudkan untuk mempengaruhi orang lain maka kita
harus menyentuh motif yang menggerakan atau mendorong prilaku komunikate. Dengan
perkataan lain, kita secara psikologis mengimbau khalayak untuk menerima dan
melaksanakan gagasan kita. Dalam uraian kita yang terakhir ini, kita akan
membicarakan imbauan rasional, imbauan emosional, imbauan takut, imbauan
ganjaran dan imbauan motivasional. Imbauan rasional didasarkan pada anggapan
bahwa manusia pada dasarnya makhluk rasional yang baru bereaksi pada imbauan
rasional, bila imbauan rasional tidak ada. Menggunakan imbauan rasional artinya
menyakinkan orang lain dengan pendekatan logis atau penyajian bukti-bukti.
Imbauan emosional menggunakan persyaratan –persyaratan atau bahasa yang
menyentuh emosi komunikate. Imbauan takut menggunakan pesan yang mencemaskan,
mengancam, atau meresahkan. Imbauan ganjaran menggunakan rujukan yang
menjanjikan komunikate sesuatu yang mereka perlukan atau yang menjanjikan
komunikate Sesuatu yang mereka perlukan atau yan mereka inginkan. Imbauan
motivasional menggunakan imbauan motif (motive appeals) yang menyentuh kondisi
intern dalam diri manusia.
Daftar Pustaka
Rakhmat , Jalaluddin (2001). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Effendy, Onong Uchjana (2006). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosdakarya.